Saturday, June 30, 2007

Emotional Marketing

Suatu ketika dalam perjalanan saya menuju Semarang dari Surabaya dengan menggunakan Bus yang (klaim-nya) Cepat terbatas, ketika saya menunggu bus untuk berangkat, seperti biasa banyak pedagang asongan menawarkan barang dagangannya dengan berbagai cara, ada yang langsung menaruh barang dagangannya ke pangkuan kita entah kita akan membeli atau tidak, dan ada yang memamerkan kehebohan barangnya didepan para penumpang, berharap sang calon konsumen tertarik, dan tentu saja yang paling diharapkan adalah terjualnya barang dagangan oleh konsumen. Namun ada yang unik dari cara para asongan ini, mungkin sebenarnya hal ini sering kita alami, hanya jarang kita perhatikan. Diantara mereka ada yang melakukan emosional marketing. Mengacu kepada teori Hermawan, seorang marketer yang konon adalah Guru marketing asia. Dalam teorinya beliau berujar bahwa konsumen sudah tidak lagi rasional, tapi emosional, sehingga preferensi dan pembelian sudah mulai bergeser ke-arah emosional, sehingga tinggal bagaimana sang marketer mengambil hati konsumen dan mengarah ke pembelian konsumen.
Kembali ke masalah mas-mas pedagang asongan dalam bis PATAS, ada salah satu penjual gethuk yang melakukan emosional approach kearah calon konsumennya yang banyak diantaranya kemudian menjadi konsumennya. Dengan cepat dia menganalisis pasar, mencari bahan yang akan dimarketingkan dan approachingpun langsung si mas ini lakukan, dengan seorang wanita yang duduk diseberang kiri saya yang (sebenernya) ndeso tapi berhasrat menjadi orang kutha (kota –dep-) dengan pintar si mas ini menggoda si mbak yang dengan noraknya berpakaian, dengan kenorak-annya sudah bisa dipastikan bahwa si mbak ini lagi nyari perhatian lawan jenisnya, si mas yang tidak diketahui namanya ini terus-menerus memuji kecantikan si mbak ini, si mbak yang tersipu seakan terbius dengan rayuannya dan dari dompetnya pun keluar uang puluhan ribu yang segera ditukar dengan gethuk. Kemudian berjalan dia ke baris meja depan, ada seorang ibu-ibu yang mungkin kelihatannya suka ngegosip, setelah mungkin si mas nya mengetahui kegemaran si ibu, lantas dia mulai berbicara masalah artis ibu kota yang sedang marak, dan uniknya ternyata mas penjual gethuk ini punya dagangan Koran juga, dengan segera dia menawarkan sebuah majalan genie dan akhirnya ditukar dengan beberapa lembar ribuan dari si ibu ini, dan dengan beberapa jurus lagi gethuk pun terjual!. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang bapak-bapak dengan busana religius islam memasuki bis yang saya tumpang. Dan ajaibnya, si mas yang mungkin pernah baca bukunya hermawan ini mendadak berubah dan tiba-tiba dia melafalkan doa-doa dan mendekati si bapak paruh baya ini, dan dengan jurus apa saya kurang memperhatikan, karena kursi saya agak berjauhan dengan kursi bapak itu, namun satu yang saya lihat, bungkus gethuk ditangannya berkurang lagi!!! Dan begitulah selanjutnya dia menjual gethuknya! Apakah saya didekati? Iya! Dengan bergaya anak muda dia mendekati saya! Namun masak jeruk makan jeruk! Saya juga sebagai marketer bung! Tau trik-trik pengambil hatian semacam itu, dan saya masih rasional karena saya memang tidak suka gethuk, maka saya ga beli dong, biar dia sempat ngajak saya berbicara agak lama, tapi soal gethuk, sori, saya ga doyan, diantara 10-15 pedagang asongan yang merayu dagangannya hanya satu yang saya beli, sebotol aqua yang lebih mahal Rp.500,- dari harga pasaran, karena saya masih haus.

Dari sepenggal kisah saya dapat dilihat praktik emosional marketing, sebuah strategy marketing yang memang sangat efektif, apalagi di negeri sanguine seperti Indonesia yang banyak masyarakatnya senang dengan penghargaan diri yang kadang berlebihan, ini sangat menguntungkan bagi marketer untuk mengambil hati pelanggannya! Price dan function terkadang sudah tidak diperhatikan lagi, yang ada adalah value, prestige, and emotional bonding between consumer and marketer!

Wednesday, June 27, 2007

simplicity

Adikku, kuliah di jogja, kuliah di UGM, D3 Akuntansi, karena dia ga ada motor, maka dia ngekost deket dari kampusnya, di daerah saga, deket mall galleria, klo orang jogja pasti tau lah daerah itu, hehe kasian juga adikku. Dia kost di tempat yang kurang begitu bagus, mungkin derah yang sedikit slump, kontras sekali dengan rumah di Surabaya, bahkan dengan kostku di Semarang…

One day aku main kekost dia, melewati gang kecil yang bahkan motorpun ga bisa lewat, mobilku terpaksa parkir di luar karena ga bisa masuk, ya iya lah daerah sekecil itu… then aku mau buag hajat ke toiletnya (yang nelangsa banget), ukurannya hanya 70cm x 1,7 M, temenku yang pernah kuajak kesana selalu komentar, ini kamar mandi yah? Kok kayak rumah masa depan sih? (liang lahat maksudnya) aku rasa ini cukup menggambarkan kondisi kost adikku yang sederhana ini… kembali lagi, waktu aku mau kekamar mandi, ada seorang pria, menggendong anaknya… (hey who is this guy?) dulu-dulu dia ga ada, karena ini kost biasa buat karyawan dan mahasiswa, jarang ada keluarga, telebih ruang kostannya cuman 2,5 x 2,5 meter. Then aku tanya adikku, siapa mereka dit? Oh, mereka keluarga kecil gitu –ujar adikku- then aku mulai memperhatikan mereka, disinilah sebuah pelajaran bisa aku petik…

Ada sebuah keluarga, pasangan dan anak mereka yang masih balita yang tinggal di kostan adikku yang kecil itu… bapaknya sepertinya saying banget sama anaknya, hampir setiap kali aku temui dia kalo dia ga kerja, dia selalu menggendong anaknya seraya bercanda… sang istri memasak makanan yang dimasak di depan kamar kost, padahal jalan didepan kostnya hanya 70 cm, jadi kalo sang istri masak orang yang lewat harus permisi dulu untuk melintas, karena ga enak lah melalui orang yang masak dijalan, tapi dia ga risih, dengan tersenyum dia minggir sedikit dan membiarkan orang lewat, kemudian kembali memasak. Sederhana sekali keluarga ini –pikirku- mereka tinggal di kamar berukuran 2,5 x 2,5. Padhal aku saja kadang2 suka ga betah berdua di ruangan sekecil itu. Aku mengeluh. Sedangkan mereka sekeluarga dengan satu anak sepertinya ga ada kekesalan dalam senyum mereka yang setiap kali aku melintas kamar mereka senyum itu selalu mengembang… kostannya benar2 dibikin seperti rumah kecil, ada TV hitam-putih kecil dalam kamar mereka yang mungkin itulah hiburan mereka, tapi ga pernah mereka terlihat sedih ketika aku berpapasan dengan mereka. Sore hari aku pulang dari aku ke mall gale, aku lihat sang istri lagi mencuci pakaian, kembali didapan jalan, akupun harus permisi lagi… wow… bersahaja banget...

Ada yang aku iri banget dama mereka… kesederhanaan… kebersamaan… kebersyukuran… hal-hal yang ga bisa diukur dengan harta, tidak bisa dibeli dengan harta…
Sesaat terdengar suara balita tertawa karena dibecandai oleh bapaknya, ketika aku melintas selalu terlihat mereka bersama, bahagia dan tersenyum, tidak mengeluh dengan keadaan… mungkin kondisi yang membuat mereka seperti ini, bayangkan, hidup mereka tidak terpisahkan oleh dinding2 yang biasanya dipisahkan dalam rumah besar… mau tidak-mau mereka selalu bersama… selalu berkomunikasi, karena kondisi lah yang membuat mereka seperti ini… tapi mereka mendapatkan kebersamaan dan kebersyuran dalam kesederhanaan… sungguh bersahaja…

coba lihat gaya hidup orang yang berada… sebuah keluarga dimana setiap anggota keluarganya punya kamar masing-masing, dan fasilitas yang ada lebih dari mencukupi, tapi apa yang terjadi? Kebersamaan itu hilang ditelan fasilitas, karena ada tv sendiri di kamar, anak lebih memilih nonton di kamar daripada nonton dengan keluarga, karena orang tua sibuk dengan pekerjaan, mereka lebih sibuk dengan kegiatannya masing-masing, menjadi makhluk individualis. Tidak ada family time, tidak ada acara makan malam bareng, dimasakin sama pembantu, kemudian dimana kebersamaan? Karena uang berkecukupan bahkan lebih, uang serasa mudah didapat dan tidak dihargai… beli tas baru padahal baru 3 minggu lalu dia beli tas, uang dihambur-hamburkan dengan bersenang-senang, sudah ada fasilitas masih saja kerap mengeluh, apabila AC mati menggerutu, TV kabel lagi terganggu siarannya mengeluh, pembantu terlambat melayani marah… padahal masih banyak orang-orang yang masih bisa bernafas tanpa fasilitas tersebut… lalu dimana kebersyukuran? Dimana kesederhanaan? Hal-hal tersebut jarang kita dapatkan apabila kita berharta lebih… alasannya, maklum, namanya juga manusia… selalu lupa diri…

sejenak perhatianku terhadap keluarga ini memadamkan semangat kapitalismeku yang membara… ambisiku besar, menjadi orang kaya, mempunyai asset banyak dan perusahaan berlimpah, insyaAllah 2 minggu lagi usaha cafĂ©-ku diSemarang akan opening… tapi keadaan ini sejenak me-”rem” ambisi besarku itu, dan merenung…